Kampus Islamku hanyalah
tinggal nama
Jangan kamu bertanya apakah
di dalamnya hanya berisi orang Islam
Ya, tentu
Orang Islam seperti yang
tertera di kartu identitas mereka masing-masing
Namun tidak menunjukkan sisi
keislaman pada diri mereka
Jangan bertanya apakah
mereka menutup auratnya
Ya, tentu
Mereka menutup aurat seperti
perintah Allah
Tapi bagiku, bagi sebagian
orang lainnya, mereka tidak menutup auratnya, mereka hanya membalut aurat
Apa perbedaan menutup dengan
membalut?
Ketika kamu membalut lukamu,
kamu akan mengikatnya dengan perban, kain, atau lainnya yang bisa membalut
luka. Tapi ketika kamu menutupi luka tersebut, kamu tidak akan membiarkan orang
lain melihatnya, atau sekedar mengetahui bagaimana bentuk luka tersebut.
Sama seperti membalut aurat.
Kamu hanya sekedar menutupi apa yang disebut aurat. Tapi kamu membuat orang lain tahu bagaimana
bentuknya. Berbeda saat kamu menutupi aurat tersebut, jangankan orang lain
melihatnya secara langsung, mengetahui bagaimana bentuknya sama orang tidak
bisa.
Mungkin tulisan di atas
sudah terlalu melenceng dengan judul
Baiklah….
Jadi begini, menempuh
pendidikan di kampus Islam tidak selamanya pilihan terbaik. Sama seperti tidak
selamanya semua yang berkuliah di kampus Islam menunjukkan sisi keislamannya.
Kalian yang di luar sana
boleh jadi memandang kami seperti calon-calon tetoris, karena banyak isu yang
mengatakan kalau teroris terlahir dari kampus bernamakan Islam. Tidak teman,
kamu salah. Saya tidak terima kalau kamu berbicara begitu.
Tapi kalau kamu mengatakan
bahwa tidak semua civitas kampus Islam benar-benar menunjukkan bahwa dirinya
Islam…. saya setuju, mungkin akan sangat setuju.
Kamu mau tidak? Saya bisa
kasih contoh
Saya tidak akan menyebutkan
label sebenarnya, hanya akan saya sebut sebagai kampus Islam
Jadi, saat saya ospek di
hari ketiga kebetulan jadwalnya hingga maghrib. Fakultas saya merupakan salah
satu fakultas islam. Puncaknya itu ketika waktu sudah menunjukkan pukul
setengah lima sore, saya dan satu teman yang saya lupa namanya karena
berkenalan mendadak sama-sama ingin shalat. Kami berdua sempat beberapa kami
menoleh ke arah belakang, melihat-kihat apakah ada panitia. Ternyata ada salah
satu panitia perempuan yang bertanya pada kami.
“Kenapa, Dek?” tanyanya.
Kami pun menjawab maksud
kalau kami ingin shalat, waktu juga sudah cukup sore. Saya kira, dengan senang
hati kakak panitia itu akan mengiyakan dan menunjukkan di mana musholla di
fakultas tersebut. Tapi apa jawabannya?
“Sebentar, ya, Dek. Acaranya
masih mulai, kan. Tunggu sebentar lagi juga udahan.”
Jujur, saya terkejut. Ini kampus
Islam, fakultas Islam. kenapa ada orang yang mau izin shalat tapi dilarang? Jangankan
dipersilahkan, bahkan tidak ada waktu istirahat untuk shalat ashar saat adzan
ashar dikumandangan. Kita hanya diperintahkan sikap teduh, lalu acara kembali
dilanjut.
Sekitar lima belas menit
berlalu, kami berdua kembali izin ke kakak paniatia yang tadi, karena ternyata
ia duduk di belakang kami. Tujuan kami masih sama, mau shalat karena acara
tidak menunjukkan akan segera selesai. Dan untuk yang kedua kalinya, kami
dilarang untuk meninggalkan tempat.
Akhirnya kami berdiri,
menuju salah satu panitia lainnya yang jaraknya tidak terlalu jauh. Meminta izin
namun bukan untuk shalat, karena khawatir akan disuruh duduk kembali. Saya pun
meminta izin untuk ke toilet, dan akhirnya diizinkan.
Apa salahnya dengan orang
mau shalat?
Apa salahnya menghentikan
sejenak acara supaya semua peserta dan panitia bisa shalat?
Apa acaranya dikhawatirnya
menjadi terlambat selesai? Bukankah itu lebih baik daripada membiarkan peserta
menunggu kapan diperintahlan untuk melaksanakan shalat? Menunggu kesadaran
masing-masing?
Saya sempat bertanya pada
beberapa orang yang juga peserta, kenapa tidak ada waktu istirahat untuk shalat
ashar, atau maghrib. hanya dzuhur, dan itu pun karena dibarengi dengan makan
siang. Mereka juga sama bingungnya, sama herannya.
Itu hanya salah satu contoh
nyata, kalau tidak selamanya segala sesuatu yang berembel-embel Islam akan
menampilkan keislamannya.
Bagaimana dengan pakaian? Menurut
riset kecil-kecilan saya, mereka yang menggunakan baju yang sesuai syariat
itulah yang menjadi minoritas. Kenapa? Silahkan tanya pada mereka
masing-masing. Mereka yang berjalan melenggak-lenggok, membawa alat make up dan memoles di wajah. Lalu bertanya,
“Bagus, gak?”
“Ih, gue ini pucet banget
kalo gak pake bedak, lipstik, bla bla bla….”
Atau mungkin yang lebih
parah:
“Gue disuruh cowok gue pake
jaket, soalnya baju gue lumayan ketat.”
Astaghfirullah…. Mengapa mereka lebih patuh pada perintah manusia daripada perintah Sang
Pencipta?
Jadi, berhenti bertanya
kenapa tidak semua civitas di kampus Islam berpakaian, berprilaku, dan hal
lainnya sesuai syariat?
Kenapa?
Karena jawaban ada pada
mereka sendiri
Karena keputusan ada pada
mereka sendiri
Karena pilihan ada pada
mereka sendiri
Mereka yang memilih masuk
kampus berembel-embel Islam
Namun mereka yang memilih
untuk tidak menggunakan embel-embel Islam dalam kehidupan mereka
Hanya nama
Hanya sekedar nama
Kampus Islamku hanya tinggal
nama
Komentar
Posting Komentar
Terimakasih yang sudah memberikan komentarnya. Keep Blogging!